- Back to Home »
- Tri Hita Karana
Minggu, 19 April 2015
HUBUNGAN
PENDIDIKAN SATWIKA (KASIH SAYANG) SEORANG
SISWA SEKOLAH DALAM KONSEP TRI HITA
KARANA GUNA MEWUJUDKAN PENGENDALIAN BUANA
ALIT DAN BUANA AGUNG
Oleh : Ade Arya
Tri Buana
(SMP
Wisata Sanur)
“Om Ano Bhadrah Kratevo Yantu Visvatah”
(Reg Weda XXV.14)
“yeka laksana ning citta
sattvika” (Wraspati
Tattwa butir 17)
Kalimat
ungkapan yang bijak tersebut mengingatkan kembali bahwa sebenarnya pikiran yang
suci beserta kejujuran datangnya dari segala penjuru. Agama yang telah mantap
dalam bidang pendidikan seorang siswa yang relegius sebagai pedoman yang
hendaknya harus menjunjung tinggi kejujuran, kebebasan, kelembutan, kekuatan,
keagungan, ketangkasan, kehalusan dan keindahan adalah yang tidak lain sebagai
sifat-sifat pikiran satwika. Dimana pikiran jujur dan teguh dapat membedakan
antara benda dan batas-batasnya, memiliki pengetahuan tentang Iswara tattwa, pandai menunjukkan
kelembutan dalam berbicara, memiliki bentuk badan yang indah merupakan sifat
pikiran satwika pula. Sehingga dalam
setiap kesempatan Tri Sandya dan
doa-doa yang ada memberikan pedoman kita untuk hal tersebut.
Satwika tidaklah sebuah slogan yang
hanya main-main terhadap pembentukan karakter seorang anak didik dimanapun
berada dan sangat perlu bagi perkembangan mental si anak didik saat ini.
Keterlibatan-keterlibatan dan lingkungan sekitar sangat berperan dalam
membentuk perkembangan karakter satwika
yang telah diajarkan dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Dimana
didalam lingkungan keluarga mulai diajarkan berkata-kata sopan terhadap yang
lebih tua, memberikan kesempatan bicara kepada teman yang sedang punya masalah
dan selalu berusaha menyenangkan orang tua. Di dalam lingkungan sekolah kita
diberikan pendidikan budi pekerti dan agama guna pengembangan diri seorang
siswa yang selalu bisa membedakan pikiran yang baik dan buruk yang nantinya
bisa melakukan perbuatan yang diperbolehkan agama sendiri. Sedangkan di
masyarakat seorang siswa bisa mengaplikasikan perbuatan yang baik guna
diturunkan kepada warga masyarakat untuk berpikir bijaksana dalam setiap
kegiatan yang ada.
Jika
disatukan antara ruang lingkup yang lebih kecil dan ruang lingkup yang lebih
besar tentunya tidak dapat dipisahkan keduanya. Begitu juga lingkungan tahapan
lebih kecil dalam diri kita yang disebut Buana
Alit dan lingkungan yang lebih besar yang disebut Buana Agung. Buana Alit
dan Buana Agung tersebut sejalan
dalam iringan waktu yang harus perlu sama-sama disucikan. Buana alit harus disucikan lewat satwika yang lebih mulia dan Buana
Agung harus disucikan lewat yadnya suci setiap tahun baru saka yang disebut
Tawur Agung Kesanga yang dilakukan
sehari sebelum hari raya Penyepian. Antara Buana Alit dan Buana Agung tidak
akan dapat dipisahkan dalam keseimbangan alam ini, karena berawal dari tindakan
yang satwika dilakukan oleh kita sendiri akan memberikan kontribusi bagi
lingkungan yang lebih luas tentunya mulai dari kelestarian lingkungan, tata
ruang sampai dengan pencaruan bumi yang dilakukan setiap tahunnya.
Satwika
merupakan ada dalam buana alit (dalam diri) pribadi masing-masing jika semua
dilakukan dengan ketulusan dan kejujuran. Satwika
tidak lain adalah sebuah kekuatan yang menjamin siswa yang berkarakter, tetapi satwika
yang bersih dan suci tentunya berawal dari perbuatan yang dilakukan sebelumnya.
Satwika ini terpengaruh dan terbentuk
dari ajaran Tri Kaya Parisuda
(Manacika, Wacika dan Kayika). Manacika
adalah sebuah karakter satwika yang dilihat dari pikiran yang baik dan benar, Wacika adalah sebuah karakter satwika
yang dilihat dari perkataan yang baik dan benar sedangkan Kayika adalah sebuah karakter satwika
yang dilihat dari perbuatan yang baik dan benar. Itulah sebuah ajaran yang
dapat dijadikan pengendalian dalam membentuk siswa yang satwika yang bisa
sayang dan berkorban pada keluarga dan dharma
negara. Tentunya Tri Kaya Parisuda
tidak terlepas dari hubungan yang lebih luas yaitu dalam melestarikan buana
agung menjelang hari raya Nyepi yaitu Tri Hita Karana. Tri Hita Karana sebuah
etika Hindu yang berfilosofi dalam ajaran wraspati tattwa dalam butir 17-74
yang mengajarkan tiga hubungan yang menyebabkan keharmonisan atau kebahagiaan.
Hubungan pertama; hubungan baik manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
hubungan kedua; hubungan baik manusia dengan manusia lain, hubungan ketiga;
hubungan baik manusia dengan lingkungannya.
Di
lain pihak, kebenaran satwika yang
lain memberikan pedoman hidup sebagai seorang siswa yang bisa mengakui bahwa
semua akan bisa menyatu melalui ajaran Catur
Prawrti dan Tat Twam Asi. Catur
Prawrti adalah empat pedoman hidup yang patut diikuti dan dilaksanakan dengan Arjawa (jujur dan kebenaran), Anrsangsa
(tidak egois), Dama (Penendalian diri) dan Indranigraha (pengendalian nafsu
jahat). Sedangkan Tat Twam Asi adalah
penyatuan kita sebagai makhluk terhadap keberadaan atman dengan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa yang sering langsung diterjemahkan “ aku adalah kamu”. Berarti tidak
lain adalah satwika terlahir dari tindakan preventif kita yang mengarah pada
buana alit (dalam diri manusia) beserta buana agung (alam semesta). Yang
terpenting dalam memupuk sikap Satwika adalah pengendalian diri secara
berkesinambungan dan serasi dengan keberdaan alam semesta beserta isi hati kita
yang selalu tenang. Sikap yang tenang dapat berpikir bijaksana dan jujur,
tetapi tidak terlepas dari ajaran kembali saat kita melakukan pengendalian diri
dalam Catur Brata Penyepian. Dalam
konteksnya tentu “Catur Brata Penyepian”
sebuah local genius yang wajib dilestarikan guna mengajarkan kita dalam
pembentukan karakter yang selalu diidam-idamkan oleh umat Hidu di Bali. Oleh
karena itu sampai sekarang Catur Brata
Penyepian sudah bisa mendunia sebagai program tahunan untuk mengurangi
pemanasan global. Catur Brata Penyepian
adalah empat pantangan yang tidak boleh dilakukan yang memberikan suasana sipeng atau sepi beserta kenyamana dan
ketenangan. Begitulah suasana hati kita kalau memang tenang dan nyaman, jika
ada kejujuran dan kebenaran yang sering disebut satwika. Catur brata itu tujuannya tiada lain agar kita dapat
memetiknya dan belajar dari renungan suci terhadap pengalaman pada tahun lalu
dan dapat lebih waspada serta lebih banyak berbuat kebajikan pada tahun-tahun
berikutnya. Setipa perubahan status atau tingkat umat Hindu selalu
memperingati. Demikianlah orang baru meningkat dewasa sepatutnya melakukan
upacara raja singa atau raja sewala. Orang yang akan melangsungkan perkawinan
sebelum upacara madengen-dengen, tidak dibenarkan keluar rumah, orang yang akan
medwijati (menjadi Pendeta) semuanya menempuh upacara sipeng (amati raga),
secara simbolis mengubah status walaka, orang biasa; untuk lahir kedua kalinya
sebagai pendeta dan amari aran, asurud ayu, berubah nama walaka serta memakai
nama kepanditaan. Kalau diambil kias pada ulat, sebelum ulat berubah menjadi
kupu-kupu, wujud yang lebih sempurna maka terlebih dahulu dia mengurung diri,
didalam kepompong, berpuasa serta tidak bergerak beberapa hari, untuk nantinya
bisa lahir sebagai kupu-kupu terbang dengan megah menikmati sari-sarinya bunga.
Begitulah manusia untuk menyongsong tahun baru, hari esok yang lebih cerah dan lebih
baik. Itu semua adalah sebuah pendidikan untuk mengajarkan seorang siswa lebih
bijaksana dan berbuat satwika, karena
dalam ajaran agama Hindu setiap manusia sudah diajarkan sejak dini untuk
bersikap satwika yang dimulai dari dalam kandungan seorang ibu sampai cara kita
bertatap muka terhadap orang tua. Tidak heran sebagai orang Hindu sudah
terlatih untuk beretika dan sopan santun dalam sikap yang disebut satwika tersebut.
Pada
hakikatnya ajaran satwika sudah terkandung pada setiap tindakan manusia untuk
dilatih bersikap bijaksana dan diuji dalam kejujuran. Sebagai penetralisir atau
penyomia perlu dilakukan pencaruan diri dan lingkungan. Pencaruan tersebut
terdiri dari tiga buah, yaitu : Caru
Palemahan Bumi Sudha (upacara pembersihan atau caru untuk tempat atau
wilayah), Caru Sasih (caru yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang
dipandang perlu diharmoniskan dan diheningkan) dan Caru Oton (Caru untung orang
atau benda sebagai unsur bhuana agung yang mengalami berbagai siklus, baik
terhadap waktu maupun perkembangannya, misalnya: oton anak yang baru lahir)
Gambar. Siswa membersihkan sisa upacara
tumpek uduh
(Dok. Pribadi tahun 2014)
Jika
dihubungkan dengan dharma dalam hari raya Galungan, maka tidak dipungkiri bahwa
jika dilihat dari kata istilahnya “dharma” berarti kebajikan atau kebenaran,
yaitu kemenangan dharma melawan adharma. Tentu saja hal tersebut tidak terlepas
dari sebuah konsepsi mengajarkan seorang siswa atau yowana untuk mengendalikan
dirinya sebagai sikap dan tindakan yang satwika yaitu dalam hari raya Sugian
Bali dan Sugian Jawa. Dalam artian seorang siswa diajarkan peduli terhadap
lingkungan mikrokosmos dalam dirinya dan makrokosmos dalam lingkungan
sekitarnya lebih luas. Terbentuknya sebuah ketenangan dan kedamaian tentunya
mulai dari keheningan diri masing-masing pribadi dan menjadi indikator
pemikiran-pemikiran sosial yang mana antara hubungan mikrokosmos dan
makrokosmos bisa penyatuan positif. Disini para siswa diajarkan “angamet
sarining bhuana, angelebur malaning bhumi” yang artinya mengambil sari-sari
bumi dan melebur atau membersihkan kotoran dunia. Disini banyak yang kita dapat
dari sebuah konsepsi yaitu menguji tingkat kesabaran kita dan bagaimana cara
menahan hawa nafsu keduniawian, tetapi dalam mengekang hawa nafsu ini bukan
berarti kita tidak bisa melakukan kegiatan yang memajukan wawasan mengenai
agama Hindu. Dikaitkan dengan tawur merupakan upacara yang dilaksanakan di
perempatan jalan pada Pusat Propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa. Pada
umumnya di pusat propinsi, kabupaten, dan kecamatan upacara ini dilaksanakan
pada siang hari pukul : 12.00 wita, sedangkan di desa-desa dilaksanakan sore
hari jam 5 atau 6 yang mengambil tempat di desa. Tenggang waktu tersebut
merupakan tegang waktu yang tepat untuk penyucian diri (buana alit) dan alam
(buana agung), dimana memerlukan keheningan dan kemurnian kehendak semua
makhluk beserta isinya. Selama setahun sejak hari raya Nyepi yang lampau manusia
terlalu banyak mengambil isi dunia berupa air, bahan makanan, bahan pakaian,
perlengkapan dan sebagainya maka terjadilah ketidakseimbangan. Isi dunia
terlalu banyak yang terambil dari yang terkembalikan, lebih-lebih lagi jika
pengambilan itu didasarkan atas keserakahan, maka pincanglah gerak rodanya. Tawur yang berarti mengembalikan,
mengandung pengertian agar kita mengembalikan apa yang terlalu banyak kita
ambil dan nikmat di dunia dengan jalan mengorbankan harta milik serta
kesenangan, berwujud banten, tawur
atau caru agar pikiran kita tidak karatan, oleh harta benda duniawi. Jadi tawur
adalah upacara korban yang dilaksanakan dengan tulus ikhlas sebagai latihan
untuk melepaskan ikatan dari daya tarik benda-benda duniawi. Secara spiritual,
tawur digambarkan sebagai pengusiran bhuta kala yangmana bhuta kala itu tiada
lain dari pada pikiran yang serakah, angkara, marah benci, iri hati dan segala
bentuk pikiran yang tidak baik. Dimana semua yang tidak baik itu diharapkan
dilebur menjadi lebih baik dengan satwika. Satwika
dalam diri (buana alit) dan satwika didalam alam semesta (buana agung). Satwika didalam alam semesta sering
disebut dengan pengheningan jagat lewat tawur atau korban suci, sedangkan satwika didalam diri disebut dalam
ajaran Tri Kaya Parisuda. Satwika adalah sebuah konsep perputaran
hidup (sycle of life). Akhir-akhir
ini kita juga merayakan hari raya tumpek uduh, mengingat di sekolah kami SMP
Wisata Sanur sebagai sekolah Adiwiyata Mandiri tentunya harus memiliki
lingkungan yang tertata rapi dan harus memperhatikan hutan mini sekolah sebagai
peneduh. Tanaman peneduh yang sangat banyak sebagai hari kasih sayang terhadap
tumbuh-tumbuhan tentunya dibuatkan sebuah upacara khusus sesuai kepercayaan
Hindu yang disebut tumpek uduh atau tumpek pengatag. Kasih sayang terhadap
tumbuhan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap seorang siswa
untuk tetap menyayangi semua makhluk ciptaan Tuhan dan tidak diterapkan pada
hari-hari tertentu saja mengungkapkan rasa kasih sayang tersebut melainkan
setiap saat antara sesama manusia yang merupakan ajaran Satwika untuk diterapkan setiap hari. Tumpek Bubuh merupakan salah
satu hari raya umat Hindu di Bali. Tumpek Bubuh disebut juga dengan Tumpek
Wariga, Tumpek Uduh maupun Tumpek Pengatag. Hari raya ini jatuh pada Sabtu
kliwon wuku Wariga. Pada hari raya ini dilakukan upacara untuk menghormati
tumbuh - tumbuhan. Hari ini merupakan hari turunnya Sanghyang Sangkara
(manifestasi Hyang Widhi) yang menjaga keselamatan hidup seluruh
tumbuh-tumbuhan. Sesajen dihaturkan kepada Ida Sanghyang Sangkara (Sanghyang
Siwa Tunggal) karena Beliau mengembangkan semua tanaman di dunia ini sehingga
semua menghasilkan untuk kesejahteraan manusia, sehingga manusia bisa
mewujudkan keselamatan dunia. Sesajennya yaitu peras, tulung sesayut, tumpeng,
bubur gendar, tumpeng agung, panyeneng, tetebus dan serba harum-haruman.
Iwak/lauknya guling bebek (atau guling babi). Untuk kayu besar yang akan
diupacarai, isikan kain, caniga, gantung-gantungan dan sasat dari janur.
Pilihlah tanaman yang sangat berguna bagi kita. Pada Hari Tumpek Wariga ini
kita tidak boleh memetik buah-buahan ataupun memotong kayu, selain untuk
keperluan Yadnya. Hari raya ini merupakan awal sebelum kita merayakan hari raya
Galungan.
Secara
alamiah seorang yang suputra dari sejak kecil akan bisa lebih satwika
tergantung lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat sekitar yang bisa
memberikan kontribusi positif bagi perkembangan mental anak. Pendidikan agama
dan budi pekerti sangat mendukung memberikan sebuah kontribusi positif dan
kekuatan lahiriah yang siap dibawa hingga hayatnya. Satwika bukan dinilai dari sebuah pelafalan saja, melainkan
tindakannya yang akan dinilai dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti yang
disebutkan dalam Sarasamuccaya, 277-279 bahwa : ”Ada orang yang seperti ini
perilakunya, tidak diliputi oleh kemarahan, benar-benar ia Satya, teguh pada
brata (janji diri), kasih sayang kepada semua makhluk dan meyakininya tidak
berbeda dengan dirinya sendiri. Demikian yang selalu dirasakan. Orang yang
demikian tingkah lakunya, pahala Tirthayatra kelak diperolehnya nanti. Yang
dimaksud Tirthayatra adalah berkeliling dengan niat suci mengunjungi tempat
untuk memperoleh air suci”. Itulah sebuah doa-doa dan mantra
menunjukkan kekuatan pribadi satwika
dan harus diajarkan sejak dini bagaimana menghormati seseorang, jika kita tidak
melakukan dengan sungguh-sungguh maka kita sebagai generasi muda akan lebih
terpuruk. Sebenarnya peranan semua pihak terkait sangat menentukan baik dan
buruk untuk menuju keheningan karakter yang satwika.
Sudah
sepatutnya para siswa maupun yowana yang lain belajardari pendidikan agama dan
budi pekerti terutama dalam perhimpunan Hindu Muda Indonesia. Adanya wadah tersebut
yang didukung dengan kekuatan satwika dalam diri ditambah pula program
pematangan yowana lewat pesantian relegius dan intelektual karakter berbasis
agama dan budi pekerti tersebut. Padahal Bali sebagai negeri relegius, namun
negara lain sudah mengakuinya maka semua itu patut dilestarikan secara
menyeluruh tentang budaya-budaya lokal yang ada. Akhirnya telah terbukti bahwa
negara kita sudah ada sekolah-sekolah dan wadah organisasi yang bergerak
dibidang agama, seperti : UNHI (Universitas Hindu Indonesia), IHDN (Institut
Hindu Dharma Negeri), SMA Dwijenra dan instansi terkait yang khusus dibidang
relegius dan keagamaan.
Gambar. Pemberian nama tanaman di
halaman sekolah oleh siswa KIR
(dok. Sekolah, 2015)
Gambar. Generasi muda di Denpasar
Festival 2014 (dok. Pribadi)